Abstract: This article was aimed at knowing the role of family
to grow the religious values into the children’s soul in forming the
personality. The religious education toward the children in a family was aimed
at the values growing. It means that the way of life colors the physical,
intellectual, and attitude development that becomes the basic in respecting
teachers and knowledge in school. It is concluded that the application of
religious education toward children in a family as early as possible showed
urge level. The application of religious education toward children has a great
influence in forming the children’s attitude and behaviour. The religious
education in a family will bring the implication such as a) children have the
religious basic knowledge b) children have the basic knowledge of behaviour c)
children have the basic knowledge of social.
Kata kunci: Urgensi, pendidikan agama, keluarga, implikasi pembentukan,
kepribadian anak.
Dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga
lembaga utama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang
anak yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat,
yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tripusat Pendidikan. Dalam GBHN (Tap.
MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”. Oleh
karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat dan pemerintah (Zakiah Darajat, 1992).
Lembaga
keluarga merupakan tempat pertama untuk anak menerima pendidikan dan pembinaan.
Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan,
namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa”(Hery Noer Aly, 2000). Sekolah
menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta memperoleh
banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga
keluarga.
Suatu
hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan di segala
bidang, manfaatnya semakin hari semakin dirasakan oleh semua kalangan. Revolusi informasi menyebabkan dunia terasa semakin kecil, semakin mengglobal dan sebaliknya privacy seakan tidak ada lagi. Berkat revolusi informasi itu, kini orang telah terbiasa berbicara tentang globalisasi dunia dengan modernitas sebagai ciri utamanya. Dengan teknologi informasi yang semakin canggih, hampir semua yang terjadi di pelosok dunia segera diketahui dan ketergantungan (interdependensi) antar bangsa semakin besar (Nurcholish Madjid, 2000).
Perkembangan tersebut – termasuk didalamnya perkembangan ilmu pengetahuan – di samping mendatangkan kebahagiaan, juga menimbulkan masalah etis dan kebijakan baru bagi umat manusia. Efek samping itu ternyata berdampak sosiologis, psikologis dan bahkan teologis. Lebih dari itu, perubahan yang terjadi juga mempengaruhi nilai-nilai yang selama ini dianut oleh manusia, sehingga terjadilah krisis nilai. Nilai-nilai kemasyarakatan yang selama ini dianggap dapat dijadikan sarana penentu dalam berbagai aktivitas, menjadi kehilangan fungsinya (Syahrin Harahap, 1999).
Untuk menyikapi fenomena global seperti itu, maka penanaman nilai-nilai keagamaan ke dalam jiwa anak secara dini sangat dibutuhkan. Dalam hubungan itu, keluarga pada masa pembangunan (dalam konteks keindonesiaan dikenal dengan era tinggal landas) tetap diharapkan sebagai lembaga sosial yang paling dasar untuk mewujudkan pembangunan kualitas manusia dan lembaga ketahanan untuk mewujudkan manusia-manusia yang ber-akhlakul karimah (Melli Sri Sulastri, 1993). Pranata keluarga merupakan titik awal keberangkatan sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup mereka (Abin Syamsuddin, 1993).
Mengingat arti penting dan strategisnya makna fungsional keluarga, maka hal itulah yang memotivasi penulis untuk mengangkat masalah ini untuk selanjutnya disuguhkan dalam bentuk makalah.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan terdahulu, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam makalah ini ialah “bagaimana urgensi penerapan pendidikan agama kepada anak dalam keluarga dan peranannya dalam membentuk kepribadian anak”. Selanjutnya, permasalahan pokok tersebut dirumuskan untuk menjadi acuan pembahasan sebagai berikut: (1) bagaimana urgensi penerapan pendidikan agama terhadap anak dalam keluarga?, (2) bagaimana implikasi penerapan pendidikan agama kepada anak dalam keluarga terhadap penanaman nilai-nilai moral keagamaan?
PEMBAHASAN
bidang, manfaatnya semakin hari semakin dirasakan oleh semua kalangan. Revolusi informasi menyebabkan dunia terasa semakin kecil, semakin mengglobal dan sebaliknya privacy seakan tidak ada lagi. Berkat revolusi informasi itu, kini orang telah terbiasa berbicara tentang globalisasi dunia dengan modernitas sebagai ciri utamanya. Dengan teknologi informasi yang semakin canggih, hampir semua yang terjadi di pelosok dunia segera diketahui dan ketergantungan (interdependensi) antar bangsa semakin besar (Nurcholish Madjid, 2000).
Perkembangan tersebut – termasuk didalamnya perkembangan ilmu pengetahuan – di samping mendatangkan kebahagiaan, juga menimbulkan masalah etis dan kebijakan baru bagi umat manusia. Efek samping itu ternyata berdampak sosiologis, psikologis dan bahkan teologis. Lebih dari itu, perubahan yang terjadi juga mempengaruhi nilai-nilai yang selama ini dianut oleh manusia, sehingga terjadilah krisis nilai. Nilai-nilai kemasyarakatan yang selama ini dianggap dapat dijadikan sarana penentu dalam berbagai aktivitas, menjadi kehilangan fungsinya (Syahrin Harahap, 1999).
Untuk menyikapi fenomena global seperti itu, maka penanaman nilai-nilai keagamaan ke dalam jiwa anak secara dini sangat dibutuhkan. Dalam hubungan itu, keluarga pada masa pembangunan (dalam konteks keindonesiaan dikenal dengan era tinggal landas) tetap diharapkan sebagai lembaga sosial yang paling dasar untuk mewujudkan pembangunan kualitas manusia dan lembaga ketahanan untuk mewujudkan manusia-manusia yang ber-akhlakul karimah (Melli Sri Sulastri, 1993). Pranata keluarga merupakan titik awal keberangkatan sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup mereka (Abin Syamsuddin, 1993).
Mengingat arti penting dan strategisnya makna fungsional keluarga, maka hal itulah yang memotivasi penulis untuk mengangkat masalah ini untuk selanjutnya disuguhkan dalam bentuk makalah.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan terdahulu, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam makalah ini ialah “bagaimana urgensi penerapan pendidikan agama kepada anak dalam keluarga dan peranannya dalam membentuk kepribadian anak”. Selanjutnya, permasalahan pokok tersebut dirumuskan untuk menjadi acuan pembahasan sebagai berikut: (1) bagaimana urgensi penerapan pendidikan agama terhadap anak dalam keluarga?, (2) bagaimana implikasi penerapan pendidikan agama kepada anak dalam keluarga terhadap penanaman nilai-nilai moral keagamaan?
PEMBAHASAN
Urgensi
Penerapan Pendidikan Agama Terhadap Anak dalam Keluarga
Pendidikan agama merupakan pendidikan dasar yang harus diberikan kepada anak sejak dini ketika masih muda. Hal tersebut mengingat bahwa pribadi anak pada usia kanak-kanak masih muda untuk dibentuk dan anak didik masih banyak berada di bawah pengaruh lingkungan rumah tangga. Mengingat arti strategis lembaga keluarga tersebut, maka pendidikan agama yang merupakan pendidikan dasar itu harus dimulai dari rumah tangga oleh orang tua
Pendidikan agama merupakan pendidikan dasar yang harus diberikan kepada anak sejak dini ketika masih muda. Hal tersebut mengingat bahwa pribadi anak pada usia kanak-kanak masih muda untuk dibentuk dan anak didik masih banyak berada di bawah pengaruh lingkungan rumah tangga. Mengingat arti strategis lembaga keluarga tersebut, maka pendidikan agama yang merupakan pendidikan dasar itu harus dimulai dari rumah tangga oleh orang tua
Pendidikan
agama dan spiritual termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat
perhatian penuh oleh keluarga terhadap anak-anaknya. Pendidikan agama dan
spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang
bersifat naluri yang ada pada kanak-kanak. Demikian pula, memberikan kepada
anak bekal pengetahuan agama dan nilai-nilai budaya Islam yang sesuai dengan
umurnya sehingga dapat menolongnya kepada pengembangan sikap agama yang betul
Inti
pendidikan agama sesungguhnya adalah penanaman iman kedalam jiwa anak didik,
dan untuk pelaksanaan hal itu secara maksimal hanya dapat dilaksanakan dalam
rumah tangga. Harun Nasution menyebutkan bahwa pendidikan agama, dalam arti
pendidikan dasar dan konsep Islam adalah pendidikan moral. Pendidikan budi
pekerti luhur yang berdasarkan agama inilah yang harus dimulai oleh ibu-bapak
di lingkungan rumah tangga. Disinilah harus dimulai pembinaan
kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam diri anak didik. Lingkungan rumah tanggalah
yang dapat membina pendidikan ini, karena anak yang berusia muda dan kecil itu
lebih banyak berada di lingkungan rumah tangga daripada di luar (Harun
Nasution, 1995)
Tugas lingkungan rumah dalam hal pendidikan
moral itu penting sekali, bukan hanya karena usia kecil dan muda anak didik
serta besarnya pengaruh rumah tangga, tetapi karena pendidikan moral dalam
sistem pendidikan kita pada umumnya belum mendapatkan tempat yang sewajarnya.
Pendidikan formal di Indonesia masih lebih banyak mengambil bentuk pengisian
otak anak didik dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk masa
depannya, sehingga penanaman nilai-nilai moral belum menjadi skala prioritas.
Oleh sebab itu, tugas ini lebih banyak dibebankan pada keluarga atau rumah
tangga. Jika rumah tangga tidak menjalankan tugas tersebut sebagaimana
mestinya, maka moral dalam masyarakat kita akan menghadapi krisis.
Dari
segi kegunaan, pendidikan agama dalam rumah tangga berfungsi sebagai berikut:
pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan hidup yang kelak mewarnai
perkembangan jasmani dan akalnya, kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi
basis dalam menghargai guru dan pengetahuan di sekolah (Ahmad Tafsir, 1994).
Bagaimanapun
sederhananya pendidikan agama yang diberikan di rumah, itu akan berguna bagi
anak dalam memberi nilai pada teori-teori pengetahuan yang kelak akan
diterimanya di sekolah. Inilah tujuan atau kegunaan pertama pendidikan agama
dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, peranan pendidikan (khususnya
pendidikan agama) memainkan peranan pokok yang sepatutnya dijalankan oleh
setiap keluarga terhadap anggota-anggotanya. Lembaga-lembaga lain dalam
masyarakat, seperti lembaga politik, ekonomi dan lain-lain, tidak dapat
memegang dan menggantikan peranan ini. Lembaga-lembaga lain mungkin dapat membantu
keluarga dalam tindakan pendidikan, akan tetapi tidak berarti dapat
menggantikannya, kecuali dalam keadaan-keadaan luar biasa (Hasan Langgulung,
1995).
Barangkali ada orang yang sering berbicara
tentang pendidikan sementara pandangannya tertuju secara khusus kepada sekolah.
Pendidikan lebih luas dari sekedar sekolah. Memang sekolah merupakan suatu
lembaga yang mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun tidak
dipungkiri bahwa sekolah menerima anak setelah anak ini melalui berbagai
pengalaman dan memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan dalam rumah
tangga.
Dalam kehidupan masyarakat primitif, keluarga
menjalankan proses pengembangan sosial anak dengan memperkenalkan berbagai
keterampilan, kebiasaan dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan
komunitas. Karena kehidupan masyarakat primitif masih sederhana, baik dalam
anasir-anasir maupun isinya, maka pola-pola pendidikannya pun masih sangat
sederhana. Sejalan dengan perkembangan sejarah dan kompleknya kehidupan,
terjadi perubahan besar terhadap masyarakat. Implikasinya, anak-anak mengalami
kesulitan untuk belajar dengan sekedar meniru. Demikian pula, orang tua sudah
mengalami kesulitan untuk tetap tinggal bercengkrama bersama anak-anaknya
sepanjang hari. Dari situ muncul kebutuhan akan suatu lembaga khusus yang
membantu keluarga dalam mendidik anak-anak dan memelihara kelangsungan hidup
komunitas (Hery Nur Aly, 2000).
Demikianlah, keluarga pernah dan masih tetap
merupakan tempat pendidikan pertama, tempat anak berinteraksi dan menerima
kehidupan emosional. Individu dewasa ini menghadapi arus informasi dan budaya
modern yang mesti disikapi. Kesalahan utama yang dilakukan budaya modern yang
berpijak pada budaya barat adalah lahirnya pandangan bahwa segala yang
bersumber dari barat diserap dan dianggap sebagai ciri kemodernan (Akbar S
Ashmed, 1993). Akibatnya, penyerapan secara membabi buta terhadap cara pandang
seperti itu menyebabkan generasi-generasi muda (remaja) terjerumus ke dalam
berbagai bentuk penyimpangan dan kenakalan yang tidak dapat ditolerir secara
agamis.
Persoalan kenakalan remaja yang sering menjadi
buah bibir dan bahan diskusi berbagai kalangan merupakan salah satu tema yang
merupakan implikasi dari salah kaprah terhadap makna modernitas. Berkumpulnya
remaja-remaja yang menyebabkan terganggunya orang-orang yang ada di
sekelilingnya, tindakan-tindakan seperti minum minuman keras, menelan obat-obat
terlarang, pemuasan nafsu seksual, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya,
sebagaian besar merupakan akibat dari kesalahan pemaknaan tersebut. Di samping
itu, egoisme pribadi yang mengakibatkan pelecehan terhadap hak-hak orang lain
menandai dunia yang semakin maju.
Bekal pendidikan agama yang diperoleh anak
dari lingkungan keluarga akan memberinya kemampuan untuk mengambil haluan di
tengah-tengah kemajuan yang demikian pesat. Keluarga muslim merupakan
keluarga-keluarga yang mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam
mendidik generasi-generasinya untuk mampu terhindar dari berbagai bentuk
tindakan yang menyimpang. Oleh sebab itu, perbaikan pola pendidikan anak dalam
keluarga merupakan sebuah keharusan dan membutuhkan perhatian yang serius.
Suatu kenyataan yang dapat dipastikan bahwa
masa remaja adalah masa yang penuh dengan kegoncangan, di samping itu disadari
pula bahwa remaja mempunyai potensi yang sangat besar. Oleh karena itu, remaja
sangat memerlukan pembinaan. Agamalah yang dapat membantu mereka dalam
mengatasi dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan yang belum pernah mereka
kenal sebelumnya yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai agama yang
dianut oleh para orang tua atau lingkungan tempat mereka hidup. Ajaran agama
Islam berintikan keyakinan (aqidah), ibadah, syariah dan akhlak yang sangat
membantu dalam mengatasi kehidupan remaja yang serba kompleks (Abd. Rahman
Getteng, 1997).
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan
utama dari pendidikan dalam keluarga adalah penanaman iman dan moral terhadap
diri anak. Untuk pencapaian tujuan tersebut maka keluarga itu sendiri dituntut
untuk memiliki pola pembinaan terencana terhadap anak. Di antara pola pembinaan
terstruktur tersebut: (1) memberi suri tauladan yang baik bagi anak-anak dalam
berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama dan akhlak yang mulia; (2)
menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka
mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterima dari orang tuanya; (3) memberi
tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka merasa bebas memilih
dalam tindak-tanduknya; (4) menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan
sadar dan bijaksana dalam sikap dan tingkah laku kehidupan sehari-hari mereka;
(5) menjaga mereka dari pergaulan teman-teman yang menyeleweng dan
tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan moral.
Pembinaan anak secara terencana seperti yang
disebutkan di atas, akan memudahkan orang tua untuk mancapai keberhasilan
pendidikan yang diharapkan.
Implikasi Penerapan Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Pembentukan Kepribadian Anak
Implikasi Penerapan Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Pembentukan Kepribadian Anak
Pembentukan
kepribadian anak sangat erat kaitannya dengan pembinaan iman dan akhlak. Secara
umum para pakar kejiwaan berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu
mekanisme yang mengendalikan dan mengarahkan sikap dan perilaku seseorang.
Kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserap
dalam pertumbuhannya, terutama pada tahun-tahun pertama dari umurnya. Apabila
nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadian seseorang,
tingkah laku orang tersebut akan diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai
agama. Di sinilah letak pentingnya pengalaman dan pendidikan agama pada
masa-masa pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Oleh sebab itu, keterlibatan
orang tua (baca: keluarga) dalam penanaman nilai-nilai dasar keagamaan bagi
anak semakin diperlukan (Zakiah Darajat, 1993).
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak dalam
keluarga, dapat memberikan implikasi-implikasi sebagai berikut:
(1) Anak memiliki pengetahuan dasar-dasar keagamaan.
Kenyataan membuktikan bahwa anak-anak yang
semasa kecilnya terbiasa dengan kehidupan keagamaan dalam keluarga, akan
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan kepribadian anak pada
fase-fase selanjutnya. Oleh karena itu, sejak dini anak seharusnya dibiasakan
dalam praktek-praktek ibadah dalam rumah tangga seperti ikut shalat jamaah
bersama dengan orang tua atau ikut serta ke mesjid untuk menjalankan ibadah,
mendengarkan khutbah atau ceramah-ceramah keagamaan dan kegiatan religius
lainnya. Hal ini sangat penting, sebab anak yang tidak terbiasa dalam
keluarganya dengan pengetahuan dan praktek-praktek keagamaan maka setelah
dewasa mereka tidak memiliki perhatian terhadap kehidupan keagamaan (Hasbullah,
1999).
Pengetahuan agama dan spiritual termasuk
bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga
terhadap anak-anaknya. Pengetahuan agama sangat berarti dalam membangkitkan
kekuatan dan kesediaan spritual yang bersifat naluri yang ada pada anak melalui
bimbingan agama dan pengalaman ajaran–ajaran agama dan pengamalan ajaran–ajaran
agama yang disesuaikan dengan tingkatan usianya, sehingga dapat menolong untuk
mendapatkan dasar pengetahuan agama yang berimplikasi pada lahirnya kesadaran
bagi anak tersebut untuk menjalankan ajaran agama secara baik dan benar (Hasan
langgulung, 1995).
Keluarga memegang peranan penting dalam
meletakkan pengetahuan dasar keagaman kepada anak–anaknya. Untuk melaksanakan
hal itu, terdapat cara–cara praktis yang harus digunakan untuk menemukan
semangat keagamaan pada diri anak, yaitu : (a) memberikan teladan yang baik
kepada mereka tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang teguh kepada
ajaran-ajaran agama dalam bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu, (b)
membiasakan mereka melaksanakan syiar-syiar agama semenjak kecil sehingga
pelaksanaan itu menjadi kebiasaaan yang mendarah daging, dan mereka melakukannya
dengan kemauan sendiri dan merasa tentram sebab mereka melaksanakannya, (c)
menyiapkan suasana agama dan spritual yang sesuai di rumah di mana mereka
berada, (d) membimbing mereka membaca bacaan-bacaan agama yang berguna dan
memikirkan ciptaan-ciptaan Allah dan makhlu-makhluk-nya untuk menjadi bukti
kehalusan sistem ciptaan itu dan atas wujud dan keagungan-nya, (e)
menggaklakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama dan
kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya dalam berbagai macam bentuk dan cara (Ibid,
1992).
Dirumah, ayah dan ibu mengajarkan dan
menanamkan dasar-dasar keagamaan kepada anak-anaknya, termasuk di dalamnya
dasar-dasar kehidupan bernegara, berprilaku yang baik dan hubungan-hubungan
sosial lainnya. Dengan demikian, sejak dini anak-anak dapat merasakan betapa
pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam pembentukan kepribadian. Latihan-latihan
keagamaan hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga menumbuhkan perasaan
aman dan memiliki rasa iman dan takwa kepada sang pencipta.
Apabila latihan-latihan keagamaan diterapkan
pada waktu anak masih kecil dalam keluarga dengan cara yang kaku atau tidak
benar, maka ketika menginjak usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli
terhadap agama atau kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya,
semakin banyak si anak mendapatkan latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil,
maka pada saat ia dewasa akan semakin marasakan kebutuhannya kepada agama
(Zakiah Darajat, 1996)
Menurut Umar Hasyim, mempelajari agama di
rumah adalah pendidikan yang penting dan akan terasa amat terkesan dan mendalam
bagi penghayatan agama oleh keluarga, terutama dalam pembentukan kepribadian
agamis anak (Umar Hasyim, 1985).
Keluarga menjadi tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk keagamaan. Jika anak mengalami atau selalu menyaksikan praktek keagamaan yang baik, teratur dan disiplin dalam rumah tangganya, maka anak akan senang meniru dan menjadikan hal itu sebagai adat kebiasan dalam hidupnya, sehingga akan dapat membentuknya sebagai makhluk yang taat beragama. Dengan demikian, agama tidak hanya dipelajari dan diketahui saja, tetapi juga dihayati dan diamalkan dengan konsisten (Imam Barnadib, 1983).
Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang dalam pergaulan dengan anggotanya memiliki ciri spesifik. Disini pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku di dalamnya. Dasar-dasar pengalaman dapat diberikan melalui rasa kasih sayang dan penuh kecintaan, kebutuhan akan kewibawaan dan nilai-nilai kepatuhan. Justru karena pergaulan yang demikian itu berlangsung dalam hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti yang amat penting (Zakiah Darajat, 1992).
(2) Anak memiliki pengetahuan dasar akhlak.
Keluarga merupakan penanaman utama dasar-dasar akhlak bagi anak, yang biasanya bercermin dalam sikap dan prilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak. Dalam hubungan ini, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan, teristimewa pendidikan budi pekerti, terdapat dalam kehidupan keluarga dengan sifat yang kuat dan murni, sehingga pusat-pusat pendidikan lainnya tidak dapat menyamainya (Suwarno, 1985).
Tampak jelas bahwa tingkah laku, cara berbuat dan berbicara akan ditiru oleh anak. Dengan teladan ini, melahirkan gejala identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan orang yang ditirunya. Perlu disadari bahwa sebagai tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah peletak dasar bagi pendidikan anak ialah peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga lainnya (Khursid Ahmad, 1986).
Pendidikan agama sangat terkait dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Hal tersebut karena agama selalu menjadi parameter, sehingga yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah yang dianggap buruk oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan tertinggi pendidikan islam adalah mendidik jiwa dan akhlak (M. Arifin, 1996).
Keluarga adalah sekolah tempat putra putri belajar. Darisana mereka mempelajari sifat-sifat mulia,
sifat kesetiaan, kasih sayang, gairah (kecemburuan positif) dan sebagainya.
Dari kehidupan keluarga, seorang ayah atau suami memupuk sifat keberanian dan
keuletan dalam upaya membela sanak keluarga dan membahagiakan mereka pada saat
hidup dan setelah kematiannya (M. Quraish Shihab, 1997). Keluarga adalah unit
terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat.
Dari segi pendidikan, keluarga memegang peranan yang sangat penting untuk melanjutkan dan mengembangkan sosial budaya yang telah diajarkan kepada anak. Dianggap bahwa kejadian shari-hari dalam kehidupan keluarga, anak-anak harus mempelajari kebenaran dan peraturan-peraturan yang ada, menghormati hak dan perasan orang lain, menghindari pergaulan yang kurang baik dan lain sebagainya (Koestoer Partowisastro, 1983). Pada setiap anak, sebagian besar tingkah lakunya diberi corak oleh tradisi kebudayaan serta kepercayaan keluarga. Hanya saja hal ini belum tentu dapat dipastikan, karena adanya gejala bosan terhadap tradisi lama.
Dasar-dasar kelakuan anak tertanam sejak dini dalam keluarga, sikap hidup serta kebiasaan. Bagaimana pun adanya pengaruh luar, pengaruh keluarga tetap terkesan pada anak karena di dalam keluargalah anak itu hidup dan menghabiskan waktunya. Lingkungan keluarga harus merasa bertanggungjawab atas kelakuan, pembentukan watak, kesehatan jasmani dan rohani (mental) (Sutari Imam Bernadib, 1995).
Jadi penerapan pendidikan keluarga, khususnya dalam pendidikan, akhlak harus dibina dari kecil dengan pembiasaan-pembiasaan dan contoh teladan dari keluarga terutama kedua orang tua. Dengan demikian anak akan memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar akhlak.
(3) Anak memiliki pengetahuan dasar sosial.
Anak adalah generasi penerus yang di masa depannya akan menjadi anggota masyarakat secara penuh dan mandiri. Oleh karena itu seorang anak sejak kecil harus sudah mulai belajar bermasyarakat, agar nantinya dia dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Orang tua harus menyadari bahwa dirinya merupakan lapisan mikro dari masyarakat, sehingga sejak awal orang tua sudah menyiapkan anaknya untuk mengadakan hubungan sosial yang di dalamnya akan terjadi proses saling mempengaruhi satu sama lain.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dikenalkan kepada anak, atau dapat dikatakan bahwa seorang anak itu mengenal hubungan sosial pertama-tama dalam lingkungan keluarga. Adanya interaksi anggota keluarga yang satu dengan keluarga yang lain menyebabkan seorang anak menyadari akan dirinya bahwa ia berfungsi sebagai individu dan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai individu, ia harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi untuk kelangsungan hidupnya di dunia ini. Sedangkan sebagai makhluk sosial, ia menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama yaitu saling tolong-menolong dan mempelajari adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, perkembangan seorang anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh kondisi keluarga dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orang tuanya sehingga, di dalam kehidupan bermasyarakat akan kita jumpai bahwa perkembangan anak yang satu dengan yang lain akan berbeda-beda (Abu ahmadi, 1997).
Kehidupan keluarga dibangun atas hubungan-hubungan sosial yang diatasnya terletak tanggung jawab penting terhadap orang perorang dan terhadap masyarakat umum. Mengingat pentingnya kehidupan keluarga dalam masyarakat sehari-hari, maka para pemikir dan filosof zaman klasik telah merencanakan dan menggambarkan segala sesuatu yang dapat menunjang keberhasilan dan kelangsungan keluarga itu. Perhatian para pemikir tentang pangaturan kehidupan masyarakat sangat memprioritaskan kepada pengenalan akan pentingnya keluarga karena ia merupakan inti dan unsur pertama dalam masyarakat (Mustafa Fahmi, 1983).
Lingkungan sosial yang pertama bagi anak ialah rumah. Di sanalah terdapat hubungan yang pertama antara anak dengan orang-orang yang mengurusnya. Hubungan diwujudkan dengan air muka, gerak-gerik dan suara. Karena hubungan ini, anak belajar memahami gerak-gerik dan air muka orang lain. Hal ini penting sekali artinya untuk perkembangan selanjutnya. Air muka dan gerak-gerik itu memegang peranan penting dalam hubungan sosial. Kemudian alat hubungan kedua yang penting yang mula-mula dipelajari di rumah adalah bahasa. Dengan bahasa, anak itu mendapat hubungan yang lebih baik dengan orang-orang yang serumah dengannya. Sebaliknya anak dapat pula berkata yang tidak senonoh atau mencaci maki dengan menggunakan bahasa pula.
Hal yang penting diketahui bahwa lingkungan keluarga itu akan membawa perkembangan perasaan sosial yang pertama misalnya, perasaan simpati yaitu suatu usaha untuk menyesuaikan diri dengan perasaan orang lain. Anak-anak itu merasa simpati kepada orang dewasa dan juga kepada orang yang mengurus mereka. Dari rasa simpati itu tumbuhlah kelak pada anak-anak itu rasa cinta terhadap orang tua dan kakak-kakaknya. Demikian pula, perasaan simpati itu menjadi dasar untuk perasaan cinta terhadap sesama manusia. Di samping itu, lingkungan keluarga dapat memberi suatu tanda peradaban yang tertentu kepada sekalian anggotanya. Dari caranya bercakap-cakap, berpakaian, bergaul dengan orang lain, dapat kita kenal pertama kali dalam lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi perasaan sosial anak selanjutnya.
Sebagai akibat dari pengalaman sosialnya, anak yang sedang berkembang menerima sejumlah besar ilmu tentang dunia dan bagaimana dunia beroperasi. Ia juga akan mengembangkan nilai-nilai tentang bagaimana ia harus berinteraksi dengan dunia itu. Pendidikan informal adalah semua pengajaran dan pelajaran yang dilakukan atau dialami manusia sepanjang hidupnya (D.F Swiff, 1989).
Dengan demikian, terlihat betapa besar tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat di mana ia menjadi pribadi atau diri sendiri. Selain itu, keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dan fungsi sosialnya. Di samping itu, keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan hidup yang tertinggi.
PENUTUP
Berdasarkan keterangan terdahulu, berikut ini dikemukakan kesimpulan dari pembahasan sebagai berikut: (1) penerapan pendidikan agama terhadap anak dalam keluarga secara dini memiliki tingkat urgenitas yang sangat besar. Hal tersebut mengingat bahwa peranan yang dimainkan oleh lembaga pendidikan formal tidak mampu menggantikan posisi lembaga keluarga dalam penanaman nilai-nilai moral keagamaan. Fenomena tersebut menempatkan pendidikan dalam lembaga keluarga menempati posisi strategis. Dalam hal ini, lembaga keluarga di samping menanamkan modal dasar bagi anak, juga melengkapi kekurangan-kekurangan sistem pendidikan formal, (2) penerapan pendidikan agama terhadap anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Pemberian modal-modal keagamaan dalam keluarga, secara garis besarnya dapat melahirkan implikasi-implikasi sebagai berikut: (a) anak memiliki pengetahuan dasar-dasar keagamaan, (b) anak memiliki pengetahuan dasar akhlak, (c) anak memiliki pengetahuan dasar sosial. Pengetahuan-pengetahuan dasar tersebut memiliki arti penting untuk pencapaian tujuan asasi dari pendidikan Islam, yaitu penanaman iman dan akhlaqul karimah.
Mengingat besarnya peranan yang dimainkan keluarga dalam penanaman nilai-nilai moral terhadap anak, maka berikut ini penulis menawarkan beberapa saran sebagai berikut: (1) perlu adanya kerjasama yang baik antara pihak lembaga pendidikan formal dengan lembaga keluarga dalam membina para peserta didik. Terjadinya miskomunikasi antara pihak pengelola lembaga pendidikan formal akan melahirkan model pendidikan yang tidak terpadu. Fenomena seperti itu dengan sendirinya akan berkonsekuensi terhadap lahirnya sikap saling menyalahkan antara pihak lembaga pendidikan formal dengan pihak orang tua peserta didik. Sebaliknya, terjadi komunikasi yang produktif antara kedua lembaga tersebut akan melahirkan rumusan-rumusan dan pola-pola pembinaan terpadu, sehingga kekurangan-kekurangan sistem kurikulum pendidikan formal akan diisi oleh orang tua peserta didik dengan pembinaan-pembinaan yang saling mendukung keberhasilan peserta didik, (2) mengingat besarnya peranan orang tua dalam penanaman nilai-nilai moral dan keagamaan anak, maka pendidikan tidak hanya penting diterapkan kepada anak, akan tetapi juga terhadap orang tua. Minimnya pengetahuan keagamaan orang tua juga sangat mempengaruhi kualitas pembinaannya terhadap anak. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk merumuskan pola-pola pembinaan orang tua secara terencana oleh pihak pemerintah bekerjasama dengan pihak sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyiy, Muhammad ‘A-iyyah. 1996. Roh Al-Islam, diterjemahkan oleh Syamsuddin Asyrofi et al. Dengan judul Beberapa Pemikiran Pendidikan Isla (Cetakan Pertama).Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Ahmad, Khursid. 1986. Family Life in Islam, diterjemahkan oleh Soetomo dengan judul Keluarga Muslim (Cetakan Pertama). Bandung: Risalah.
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991 Ilmu Pendidikan (Cetakan Pertama). Jakarta: Rineka Cipta.
----------. 1991. Sosiologi Pendidikan. (Cetakan Pertama). Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmed, Akbar S. 1993. Post Modernisme and Islam; Predicement and Promise, terjemahan Bahasa Indonesia dengan judul Posmodernisme; Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Aly, Hery Noer dan H. Munzier, S. 2000. Watak Pendidikan Islam (Cetakan Pertama). Jakarta: Friska Agung Insani.
Arifin, M. 1996. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cetakan Keempat). Jakarta: Bumi Aksara.
Barnadib, Imam. 1983. Pemikiran Tentang Pendidikan Baru. Yogyakarta: Andi Offset.
------------. Imam. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Cetakan kelima belas). Yogyakarta: Andi Offset.
Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama (Cetakan Kelima belas). Jakarta: Bulan Bintang.
-------------.1992. Ilmu Pendidikan Islam (Cetakan Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.
-------------. 1993. Tinjauan Anak Dalam Keluarga: Tinjauan Psikologi Agama, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.
Fahmi, Mustafa. 1983. Penyesuaian Diri: Lapangan Implementasi Dari Penyesuaian Diri (Cetakan Pertama). Jakarta: Bulan Bintang.
Getteng, H. Abd. Rahman. 1997. Pendidikan Islam dalam Pembangunan. Ujungpandang: Yayasan al-Ahkam.
Harahap, H. Syahrin. 1999. Islam; Konsep dan Imlementasi Pemberdayaan. (Cetakan Pertama). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Hasbullah. 1999. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Cetakan Pertama). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasyim, Umar. 1985. Cara Mendidik Anak dalam Islam, Seri II. Surabaya: Bina Ilmu.
Ibnu Musthafa. 1997. Keluarga Islam Menyongsong Abad 21 (Cetakan Kedua). Bandung: Mizan, 1997
Izzat, Hibbah Rauf. 1997. Al-Mar’ah Wa al-‘Amal al Siysiy: Ru’yah Islamiah. Diterjemahkan oleh Baharuddin Fannani dengan judul Wanita dan Politik; Pandangan Islam (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya, 1997
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. (Cetakan Keempat). Jakarta: Paramadina.
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 2000. Karya Ki Hajar Dewantara, Bagian I. Yogyakarta: t.p.
Muhaimin dan Abd. Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis Kerangka Dasar Operasionalnya (Cetakan Pertama). Bandung: Trigenda Karya.
Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Mizan.
Partowisastro, Koestoer. 1983. Dinamika dalam Psikologi Anak (Jilid I Cetakan Pertama). Jakarta: Erlangga.
Rivai, Melly Sri Sulastri. 1993. Suatu Tinjauan Historis Prospektif tentang Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Shihab, M. Quraish. 1997. Membumikan al-Qur’an (Cetakan Kedua). Bandung: Mizan.
Soejono, Ag. 1979. Aliran Baru Dalam Pendidikan (Cetakan Pertama). Bandung: CV. Ilmu.
Suwarno. 1985. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru.
Swiff, D.F. 1989. the Sociology of Education: Introductory Analitycal Perpectives, diterjemahkan oleh Panuti Sudjiman dan Greta Librata dengan judul Sosiologi Pendidikan: Penrspektif Pendahuluan yang Analitis. Jakarta: Bharata Niaga Media.
Syamsuddin, M., TB. Abin. 1993. Kata Sambutan, dalam Jalaluddin Rahmat dan Myhtar Gandaatmaja (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remadja Rosdakarya.
--------------. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Wahyoctomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cetakan Pertama). Jakarta: Gema Insani Press.
Keluarga menjadi tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk keagamaan. Jika anak mengalami atau selalu menyaksikan praktek keagamaan yang baik, teratur dan disiplin dalam rumah tangganya, maka anak akan senang meniru dan menjadikan hal itu sebagai adat kebiasan dalam hidupnya, sehingga akan dapat membentuknya sebagai makhluk yang taat beragama. Dengan demikian, agama tidak hanya dipelajari dan diketahui saja, tetapi juga dihayati dan diamalkan dengan konsisten (Imam Barnadib, 1983).
Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang dalam pergaulan dengan anggotanya memiliki ciri spesifik. Disini pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku di dalamnya. Dasar-dasar pengalaman dapat diberikan melalui rasa kasih sayang dan penuh kecintaan, kebutuhan akan kewibawaan dan nilai-nilai kepatuhan. Justru karena pergaulan yang demikian itu berlangsung dalam hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti yang amat penting (Zakiah Darajat, 1992).
(2) Anak memiliki pengetahuan dasar akhlak.
Keluarga merupakan penanaman utama dasar-dasar akhlak bagi anak, yang biasanya bercermin dalam sikap dan prilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak. Dalam hubungan ini, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan, teristimewa pendidikan budi pekerti, terdapat dalam kehidupan keluarga dengan sifat yang kuat dan murni, sehingga pusat-pusat pendidikan lainnya tidak dapat menyamainya (Suwarno, 1985).
Tampak jelas bahwa tingkah laku, cara berbuat dan berbicara akan ditiru oleh anak. Dengan teladan ini, melahirkan gejala identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan orang yang ditirunya. Perlu disadari bahwa sebagai tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah peletak dasar bagi pendidikan anak ialah peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga lainnya (Khursid Ahmad, 1986).
Pendidikan agama sangat terkait dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Hal tersebut karena agama selalu menjadi parameter, sehingga yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah yang dianggap buruk oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan tertinggi pendidikan islam adalah mendidik jiwa dan akhlak (M. Arifin, 1996).
Keluarga adalah sekolah tempat putra putri belajar. Dari
Dari segi pendidikan, keluarga memegang peranan yang sangat penting untuk melanjutkan dan mengembangkan sosial budaya yang telah diajarkan kepada anak. Dianggap bahwa kejadian shari-hari dalam kehidupan keluarga, anak-anak harus mempelajari kebenaran dan peraturan-peraturan yang ada, menghormati hak dan perasan orang lain, menghindari pergaulan yang kurang baik dan lain sebagainya (Koestoer Partowisastro, 1983). Pada setiap anak, sebagian besar tingkah lakunya diberi corak oleh tradisi kebudayaan serta kepercayaan keluarga. Hanya saja hal ini belum tentu dapat dipastikan, karena adanya gejala bosan terhadap tradisi lama.
Dasar-dasar kelakuan anak tertanam sejak dini dalam keluarga, sikap hidup serta kebiasaan. Bagaimana pun adanya pengaruh luar, pengaruh keluarga tetap terkesan pada anak karena di dalam keluargalah anak itu hidup dan menghabiskan waktunya. Lingkungan keluarga harus merasa bertanggungjawab atas kelakuan, pembentukan watak, kesehatan jasmani dan rohani (mental) (Sutari Imam Bernadib, 1995).
Jadi penerapan pendidikan keluarga, khususnya dalam pendidikan, akhlak harus dibina dari kecil dengan pembiasaan-pembiasaan dan contoh teladan dari keluarga terutama kedua orang tua. Dengan demikian anak akan memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar akhlak.
(3) Anak memiliki pengetahuan dasar sosial.
Anak adalah generasi penerus yang di masa depannya akan menjadi anggota masyarakat secara penuh dan mandiri. Oleh karena itu seorang anak sejak kecil harus sudah mulai belajar bermasyarakat, agar nantinya dia dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Orang tua harus menyadari bahwa dirinya merupakan lapisan mikro dari masyarakat, sehingga sejak awal orang tua sudah menyiapkan anaknya untuk mengadakan hubungan sosial yang di dalamnya akan terjadi proses saling mempengaruhi satu sama lain.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dikenalkan kepada anak, atau dapat dikatakan bahwa seorang anak itu mengenal hubungan sosial pertama-tama dalam lingkungan keluarga. Adanya interaksi anggota keluarga yang satu dengan keluarga yang lain menyebabkan seorang anak menyadari akan dirinya bahwa ia berfungsi sebagai individu dan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai individu, ia harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi untuk kelangsungan hidupnya di dunia ini. Sedangkan sebagai makhluk sosial, ia menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama yaitu saling tolong-menolong dan mempelajari adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, perkembangan seorang anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh kondisi keluarga dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orang tuanya sehingga, di dalam kehidupan bermasyarakat akan kita jumpai bahwa perkembangan anak yang satu dengan yang lain akan berbeda-beda (Abu ahmadi, 1997).
Kehidupan keluarga dibangun atas hubungan-hubungan sosial yang diatasnya terletak tanggung jawab penting terhadap orang perorang dan terhadap masyarakat umum. Mengingat pentingnya kehidupan keluarga dalam masyarakat sehari-hari, maka para pemikir dan filosof zaman klasik telah merencanakan dan menggambarkan segala sesuatu yang dapat menunjang keberhasilan dan kelangsungan keluarga itu. Perhatian para pemikir tentang pangaturan kehidupan masyarakat sangat memprioritaskan kepada pengenalan akan pentingnya keluarga karena ia merupakan inti dan unsur pertama dalam masyarakat (Mustafa Fahmi, 1983).
Lingkungan sosial yang pertama bagi anak ialah rumah. Di sanalah terdapat hubungan yang pertama antara anak dengan orang-orang yang mengurusnya. Hubungan diwujudkan dengan air muka, gerak-gerik dan suara. Karena hubungan ini, anak belajar memahami gerak-gerik dan air muka orang lain. Hal ini penting sekali artinya untuk perkembangan selanjutnya. Air muka dan gerak-gerik itu memegang peranan penting dalam hubungan sosial. Kemudian alat hubungan kedua yang penting yang mula-mula dipelajari di rumah adalah bahasa. Dengan bahasa, anak itu mendapat hubungan yang lebih baik dengan orang-orang yang serumah dengannya. Sebaliknya anak dapat pula berkata yang tidak senonoh atau mencaci maki dengan menggunakan bahasa pula.
Hal yang penting diketahui bahwa lingkungan keluarga itu akan membawa perkembangan perasaan sosial yang pertama misalnya, perasaan simpati yaitu suatu usaha untuk menyesuaikan diri dengan perasaan orang lain. Anak-anak itu merasa simpati kepada orang dewasa dan juga kepada orang yang mengurus mereka. Dari rasa simpati itu tumbuhlah kelak pada anak-anak itu rasa cinta terhadap orang tua dan kakak-kakaknya. Demikian pula, perasaan simpati itu menjadi dasar untuk perasaan cinta terhadap sesama manusia. Di samping itu, lingkungan keluarga dapat memberi suatu tanda peradaban yang tertentu kepada sekalian anggotanya. Dari caranya bercakap-cakap, berpakaian, bergaul dengan orang lain, dapat kita kenal pertama kali dalam lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga sangat mempengaruhi perasaan sosial anak selanjutnya.
Sebagai akibat dari pengalaman sosialnya, anak yang sedang berkembang menerima sejumlah besar ilmu tentang dunia dan bagaimana dunia beroperasi. Ia juga akan mengembangkan nilai-nilai tentang bagaimana ia harus berinteraksi dengan dunia itu. Pendidikan informal adalah semua pengajaran dan pelajaran yang dilakukan atau dialami manusia sepanjang hidupnya (D.F Swiff, 1989).
Dengan demikian, terlihat betapa besar tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat di mana ia menjadi pribadi atau diri sendiri. Selain itu, keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dan fungsi sosialnya. Di samping itu, keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan hidup yang tertinggi.
PENUTUP
Berdasarkan keterangan terdahulu, berikut ini dikemukakan kesimpulan dari pembahasan sebagai berikut: (1) penerapan pendidikan agama terhadap anak dalam keluarga secara dini memiliki tingkat urgenitas yang sangat besar. Hal tersebut mengingat bahwa peranan yang dimainkan oleh lembaga pendidikan formal tidak mampu menggantikan posisi lembaga keluarga dalam penanaman nilai-nilai moral keagamaan. Fenomena tersebut menempatkan pendidikan dalam lembaga keluarga menempati posisi strategis. Dalam hal ini, lembaga keluarga di samping menanamkan modal dasar bagi anak, juga melengkapi kekurangan-kekurangan sistem pendidikan formal, (2) penerapan pendidikan agama terhadap anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Pemberian modal-modal keagamaan dalam keluarga, secara garis besarnya dapat melahirkan implikasi-implikasi sebagai berikut: (a) anak memiliki pengetahuan dasar-dasar keagamaan, (b) anak memiliki pengetahuan dasar akhlak, (c) anak memiliki pengetahuan dasar sosial. Pengetahuan-pengetahuan dasar tersebut memiliki arti penting untuk pencapaian tujuan asasi dari pendidikan Islam, yaitu penanaman iman dan akhlaqul karimah.
Mengingat besarnya peranan yang dimainkan keluarga dalam penanaman nilai-nilai moral terhadap anak, maka berikut ini penulis menawarkan beberapa saran sebagai berikut: (1) perlu adanya kerjasama yang baik antara pihak lembaga pendidikan formal dengan lembaga keluarga dalam membina para peserta didik. Terjadinya miskomunikasi antara pihak pengelola lembaga pendidikan formal akan melahirkan model pendidikan yang tidak terpadu. Fenomena seperti itu dengan sendirinya akan berkonsekuensi terhadap lahirnya sikap saling menyalahkan antara pihak lembaga pendidikan formal dengan pihak orang tua peserta didik. Sebaliknya, terjadi komunikasi yang produktif antara kedua lembaga tersebut akan melahirkan rumusan-rumusan dan pola-pola pembinaan terpadu, sehingga kekurangan-kekurangan sistem kurikulum pendidikan formal akan diisi oleh orang tua peserta didik dengan pembinaan-pembinaan yang saling mendukung keberhasilan peserta didik, (2) mengingat besarnya peranan orang tua dalam penanaman nilai-nilai moral dan keagamaan anak, maka pendidikan tidak hanya penting diterapkan kepada anak, akan tetapi juga terhadap orang tua. Minimnya pengetahuan keagamaan orang tua juga sangat mempengaruhi kualitas pembinaannya terhadap anak. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk merumuskan pola-pola pembinaan orang tua secara terencana oleh pihak pemerintah bekerjasama dengan pihak sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyiy, Muhammad ‘A-iyyah. 1996. Roh Al-Islam, diterjemahkan oleh Syamsuddin Asyrofi et al. Dengan judul Beberapa Pemikiran Pendidikan Isla (Cetakan Pertama).Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Ahmad, Khursid. 1986. Family Life in Islam, diterjemahkan oleh Soetomo dengan judul Keluarga Muslim (Cetakan Pertama). Bandung: Risalah.
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991 Ilmu Pendidikan (Cetakan Pertama). Jakarta: Rineka Cipta.
----------. 1991. Sosiologi Pendidikan. (Cetakan Pertama). Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmed, Akbar S. 1993. Post Modernisme and Islam; Predicement and Promise, terjemahan Bahasa Indonesia dengan judul Posmodernisme; Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Aly, Hery Noer dan H. Munzier, S. 2000. Watak Pendidikan Islam (Cetakan Pertama). Jakarta: Friska Agung Insani.
Arifin, M. 1996. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cetakan Keempat). Jakarta: Bumi Aksara.
Barnadib, Imam. 1983. Pemikiran Tentang Pendidikan Baru. Yogyakarta: Andi Offset.
------------. Imam. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Cetakan kelima belas). Yogyakarta: Andi Offset.
Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama (Cetakan Kelima belas). Jakarta: Bulan Bintang.
-------------.1992. Ilmu Pendidikan Islam (Cetakan Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.
-------------. 1993. Tinjauan Anak Dalam Keluarga: Tinjauan Psikologi Agama, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.
Fahmi, Mustafa. 1983. Penyesuaian Diri: Lapangan Implementasi Dari Penyesuaian Diri (Cetakan Pertama). Jakarta: Bulan Bintang.
Getteng, H. Abd. Rahman. 1997. Pendidikan Islam dalam Pembangunan. Ujungpandang: Yayasan al-Ahkam.
Harahap, H. Syahrin. 1999. Islam; Konsep dan Imlementasi Pemberdayaan. (Cetakan Pertama). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Hasbullah. 1999. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Cetakan Pertama). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasyim, Umar. 1985. Cara Mendidik Anak dalam Islam, Seri II. Surabaya: Bina Ilmu.
Ibnu Musthafa. 1997. Keluarga Islam Menyongsong Abad 21 (Cetakan Kedua). Bandung: Mizan, 1997
Izzat, Hibbah Rauf. 1997. Al-Mar’ah Wa al-‘Amal al Siysiy: Ru’yah Islamiah. Diterjemahkan oleh Baharuddin Fannani dengan judul Wanita dan Politik; Pandangan Islam (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya, 1997
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. (Cetakan Ketiga). Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. (Cetakan Keempat). Jakarta: Paramadina.
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 2000. Karya Ki Hajar Dewantara, Bagian I. Yogyakarta: t.p.
Muhaimin dan Abd. Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis Kerangka Dasar Operasionalnya (Cetakan Pertama). Bandung: Trigenda Karya.
Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Mizan.
Partowisastro, Koestoer. 1983. Dinamika dalam Psikologi Anak (Jilid I Cetakan Pertama). Jakarta: Erlangga.
Rivai, Melly Sri Sulastri. 1993. Suatu Tinjauan Historis Prospektif tentang Perkembangan Kehidupan dan Pendidikan Keluarga, dalam Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Shihab, M. Quraish. 1997. Membumikan al-Qur’an (Cetakan Kedua). Bandung: Mizan.
Soejono, Ag. 1979. Aliran Baru Dalam Pendidikan (Cetakan Pertama). Bandung: CV. Ilmu.
Suwarno. 1985. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru.
Swiff, D.F. 1989. the Sociology of Education: Introductory Analitycal Perpectives, diterjemahkan oleh Panuti Sudjiman dan Greta Librata dengan judul Sosiologi Pendidikan: Penrspektif Pendahuluan yang Analitis. Jakarta: Bharata Niaga Media.
Syamsuddin, M., TB. Abin. 1993. Kata Sambutan, dalam Jalaluddin Rahmat dan Myhtar Gandaatmaja (peny.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remadja Rosdakarya.
--------------. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Cetakan Pertama). Bandung: Remadja Rosdakarya.
Wahyoctomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cetakan Pertama). Jakarta: Gema Insani Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar